
PRAKTIKUM
TOKSIKOLOGI
HASIL PERIKANAN
UJI TOKSISITAS BAHAN PENCEMAR TERHADAP IKAN AIR TAWAR

Saputriani
05061181520003
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Potensi sumberdaya
perikanan di Indonesia sangat berlimpah baik yang berasal dari perairan darat
maupun dari perairan laut.Sumberdaya perikanan terutama ikan dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan rakyat sebagai sumber protein hewani yang bernilai gizi
tinggi.Banyaknya masyarakat yang mengkonsumsi ikan setiap harinya, menyebabkan
permintaan pasar semakin hari semakin meningkat terhadap kebutuhan ikan.Tetapi
hal ini justru berbanding terbalik dengan jumlah hasil tangkapan ikan dari
perairan umum yang semakin hari semakin berkurang, usaha perikanan air tawar
harus terus dipacu untuk dikembangkan agar produksi ikan kembali meningkat
(Djarijah, 2002).
Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia, dimana terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai
sekitar 81.000 km. Indonesia memiliki luas wilayah lautan sekitar 5,8 juta km2
atau sekitar 70% dari luas total teritorial Indonesia. Dengan potensi fisik
ini, tentunya kita harus berbangga atas potensi ini, serta mampu mengelolanya
dengan baik (Bahar, 2006).
Kondisi geografis Indonesia yang sangat strategis dengan
potensi sumberdaya alam yang sangat besar merupakan potensi besar dalam
perekonomian nasional. Sebagai negara agraris dan maritim, Indonesia memiliki
kekayaan alam yang sangat besar baik di darat maupun di lautan. Perairan
umumnya digunakan sebagai media pembudidayaan air tawar yang meliputi
pembudidayaan ikan di kolam, pembudidayaan ikan disawah, dan pembudidayaan ikan
hias air tawar. Dari segi ekonomi, bagian yang terpenting dalam perikanan air
tawar adalah golongan ini untuk meningkatkan pendapatan keluarga ataupun dalam
ruang lingkup pendapatan daerah sendiri (Bahar, 2006).
Perikanan air tawar
diperkirakan berjumlah lebih dari seratus spesies, namun dari sekian banyak
jenis spesies diatas hanya beberapa jenis yang memiliki nilai ekonomis penting
diantaranya yaitu ikan tambakan (Helostoma
teminckii), ikan patin (Pangasiuspangasius), ikan gabus (Channa
striata), ikan lele (Clarias
bathracus) dan masih banyak jenis ikan lainnya,
disebut memiliki nilai ekonomis
penting karena nilai
jualnya dipasaran mahal harganya serta mudah dibudidayakan dan terdapat dimana-mana
(Dahuri, 2003)
Ikan air tawar dapat
digolongkan dalam tiga golongan yaitu, sebagai berikut ikan peliharaan yaitu
terdiri dari ikan-ikan yang mudah dipelihara dan diperbanyak serta dapat pula
memberikan keuntungan bagi pengusaha. Contoh ikan golongan ini adalah ikan lele (Clarias bathracus),
ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis) dan ikan patin (Pangasiuspangasius), ikan buas yaitu dari ikan gabus (Channa striata)(Lestari, 2003).
Ikan-ikan ini mempunyai
sifat-sifat yang jahat terhadap jenis spesies lainnya yang berada di sekitar
lingkungannya. Dan ikan liar yaitu terdiri dari ikan yang tidak buas, tetapi
tidak pula dapat dipelihara dengan memberi keuntungan, bahkan harus dianggap
pengganggu terhadap ikan peliharaan. Jenis ikan ini merupakan saingan ikan-ikan
lain dalam hal soal makanan. Contoh dari
ikan liar yaitu ikan buntal, ikan jeler dan ikan paray (Lestari, 2003).
2.1. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk
mengetahui tingat toksisitas bahan pencemar perairan terhadap berbagai jenis ikan
air tawar.
BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Sistematika Ikan Tambakan(Helostroma temmenckii)
Sistematika dan morfologi ikan Tambakan (Helostoma temmenckii)
menurut Saanin (1984)
anntara lain sebagai berikut:
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Labyrinthici
famili : Anabantidae
genus : Helostoma
spesies :
Helostoma temminckii
Ikan tambakan (Helostoma temmenckii)
adalah salah satu jenis ikan air tawar yang berasal dari wilayah tropis,
tepatnya Asia Tenggara.Ikan ini pada awalnya berasal dari Thailand hingga
Indonesia sebelum akhirnya diintroduksi ke seluruh dunia. Ikan ini juga dikenal
dengan nama gurami pencium karena kebiasaannya “mencium” saat mengambil makanan
dari permukaan benda padar maupun saat berduel antara pejantan (Khairuman,
2001).
Di Indonesia sendiri, ikan ini memiliki
banyak nama seperti bawan, gsfbiawan, hingga ikan samarinda (Khairuman, 2001).
Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip
analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hamper serupa. Sirip ekornya sendiri
berbentuk nyaris bundar atau mengarah cembung ke luar, sementara sirip dadanya
yang berjumlah sepasang juga berbentuk nyaris bundar.Dikedua sisi tubuhnya
terdapat gurat sisi, pola berupa garis tipis yang berawal dari pangkal celah
insangnya sampai pangkal sirip ekornya.Kurang lebih ada sekitar 43-48 sisik
yang menyusun gurat sisi tersebut.Ikan tambakan diketahui bisa tumbuh hingga
ukuran 30 sentimeter (Khairuman, 2001).Salah satu ciri khas dari ikan tambakan
adalah mulutnya yang memanjang. Karakteristik mulutnya yang menjulur ke depan
membantunya mengambil makanan semisal lumut dari tempatnya melekat. Bibirnya
diselimuti oleh semacam gigi bertanduk, namun gigi-gigi tersebut tidak
ditemukan di bagian mulut lain seperti faring, premaksila, dentary, dan
langit-langit mulut. Ikan tambakan juga memiliki tapis insang (gill raker)
yang membantunya menyaring partikel-partikel makanan yang masuk bersama dengan
air (Khairuman, 2001).
2.2. Formalin
Formalin adalah larutan
yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Didalam formalin mengandung
sekitar 37 persen formaldehid dalam air, biasanya ditambah methanol hingga 15
persen sebagai pengawet. Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama
(desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Nama lain dari formalin
adalah Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane,
Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan
Formalith (Astawan, 2006).
Berat molekul formalin adalah 30,03 dengan rumus molekul
HCOH. Karena kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke
dalam sel tubuh. Gugus karbonil yang dimilikinya sangat aktif, dapat bereaksi
dengan gugus NH2 dari protein yang ada pada tubuh membentuk senyawa
yang mengendap (Harmita, 2006). Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan
baunya sangat menusuk. Di dalam larutan formalin terkandung 30-50% gas
formaldehid dan ditambahkan metanol sebanyak 10-15% untuk mencegah terjadinya
polimerisasi formaldehid. Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling
sederhana. Formaldehid bersifat mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna,
dan mudah dipolimerisasi pada suhu ruang. Formadehid bersifat larut di dalam
air, aseton, benzene, dietil eter, kloroform, dan etanol (Hart, 1983).
Pada suhu 150ÂșC, formaldehid mudah
terdekomposisi menjadi metanol dan karbonmonoksida. Formaldehid mudah
dioksidasi oleh oksigen di atmosfer membentuk asam format, yang kemudian diubah
menjadi karbondioksida oleh sinar matahari (WHO, 2002).
2.3. Detergen
Suatu deterjen (dari bahasa Latin detergere,
menyeka) adalah molekul yang sama seperti sabun, membentuk missel dalam air dan
emulsi lemak dan minyak. Deterjen sintetis yang biasa sering digunakan adalah
natrium alkilbenzenesulfonat, deterjen mirip dengan sabun yang memiliki sebuah
grup ion dan suatu hidrokarbon berantai panjang tetapi pasti menguntungkan.
Ketidak untungan sabun muncul bila digunakan dalam air sadah, yang mengandung
kation logam-logam tertentu seperti Ca, Mg, Ba, Fe, dan Fe. Kation-kation
tersebut menyebabkan garamgaram natrium atau kalium dari asam karboksilat yang
semula larut menjadi garamgaram karboksilat yang tidak larut.5 Rantai alkil
sebaiknya tidak bercabang. Alkil benzenasulfonat yang bercabang bersifat tidak
dapat didegradasi oleh jasad renik (biodegradable) (Hart, H, 1991).
Deterjen ini mengakibatkan masalah polusi berat
pada tahun 1950-an, yaitu berupa buih pada unitunit penjernihan serta di sungai
dan danau-danau. Sejak tahun 1965, digunakan alkil benzenasulfonat yang tidak
bercabang. Deterjen jenis ini mudah didegradasi secara biologis oleh
mikroorganisme dan tidak berakumulasi di lingkungan kita (Hart, H, 1991).
Deterjen pertama kali dikenalkan pada tahun
1933 yang dianggap lebih efektif dalam air sadah. Deterjen memiliki dua
kesamaan karakteristik struktur yang dilakukan oleh sabun: pertama memiliki
suatu rantai panjang, nonpolar, hidrofobik, hidrokarbon, yang mana larut dalam
lemak dan minyak, kedua mereka
memiliki suatu ujung polar dan hidrofilik yang mana larut dalam air. Sebagian
besar deterjen sekarang ini adalah biodegradable. Yang berarti bahwa deterjen
tersebut dapat secara cepat dimetabolisme oleh mikroorganisme dalam suatu
kotoran pembuangan tanaman dan tidak dibebaskan kedalam lingkungan. Untuk
deterjen yang biodegradable, rantai panjang alkil harus diputus. Deterjen yang
digunakan pada tahun 1950-1960an memiliki rantai bercabang yang tidak
biodegradable, sebagian besar kotoran pada pakaian atau kulit melekat menjadi
suatu lapisan maka akan mudah dibersihkan oleh detergen (Bailey, S.P, 1985).
2.3. Sabun
Sabun
adalah bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi, terdiri dari dua
komponen utama yaitu asam lemak dengan rantai karbon C16 dan sodium atau
potasium. Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia antara
kalium atau natrium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani.
Sabun yang dibuat dengan NaOH dikenal dengan sabun keras (hard soap), sedangkan
sabun yang dibuat dengan KOH dikenal dengan sabun lunak (soft soap). Sabun
dibuat dengan dua cara yaitu proses saponifikasi dan proses netralisasi minyak.
Proses saponifikasi minyak akan memperoleh produk sampingan yaitu gliserol,
sedangkan proses netralisasi tidak akan memperoleh gliserol. Proses
saponifikasi terjadi karena reaksi antara trigliserida dengan alkali, sedangkan
proses netralisasi terjadi karena reaksi asam lemak bebas dengan alkali (Qisti,
2009).
Sabun
merupakan senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat,
C17H35COO-Na+. Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan dari kekuatan
pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari air. Konsep ini
dapat di pahami dengan mengingat kedua sifat dari anion sabun (Achmad, 2004).
2.3. Garam
Secara
fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang
merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida (>80%)
serta senyawa lainnya seperti Magnesium Chlorida, Magnesium Sulfat, Calsium
Chlorida, dan lain-lain. Garam mempunyai sifat / karakteristik higroskopis yang
berarti mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 - 0,9
dan titik lebur pada tingkat suhu 8010C ( Burhanuddin, 2001).
Garam Natrium klorida untuk keperluan masak dan
biasanya diperkaya dengan unsur iodin (dengan menambahkan 5 g NaI per kg NaCl)
padatan Kristal berwarna putih, berasa asin, tidak higroskopis, bila mengandung
MgCl2 menjadi berasa agak pahit dan higroskopis. Digunakan terutama sebagai
bumbu penting untuk makanan, sebagai bumbu penting untuk makanan, bahan untuk
pembuatan keramik, kaca, dan pupuk, sebagai zat pengawet ( Mulyono, 2009).
BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
3.1. Tempat dan Waktu
Praktikum Toksilogi Hasil Perikanan dilaksanakan di
Laboratorium Pengolahan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya. Pada hari Selasa 14 Maret 2017, pukul 10:00 WIB sampai
dengan selesai.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang
digunakan dalam praktikum ini antara lain: sendok, baskom, pipet tetes, gelas ukur 1000 mL, sedangkan
bahan yang digunakan adalah potassium sianida, detergen, sabun, garam, ikan
sapil, ikan lele, ikan betok.
3.3. Cara Kerja
Berikut
cara kerja yang dilakukan pada praktikum Toksikologi Hasil Perikanan antara lain sebagai berikut:
1. Tahap pendahuluan yaitu pembuatan larutan potassium sianida, detergen,
sabun, dan garam dengan masing-masing konsentrasi 20% dan 50%.
2.
Tahap
kedua yaitu ikan sapil, kerang-kerangan, ikan lele, dan ikan betok kondisi
hidup masing-masing 5 ekor dimasukkan ke dalam gelas ukur perlakuan, sebelum
itu semua organisme ditimbang berat badannya. Larutan limbah pencemar air
diambil sebanyak 2 sampai 5 tetes (± 1 mL) setiap 5, 10, 25, 45, dan 60 menit,
kemudian larutan tersebut dimasukkan ke dalam gelas perlakuan yang telah berisi
ikan maupun kerang-kerangan (waktu, kondisi, dan jumlah kematian dicatat).
3.
Tahap
ketiga yaitu ikan sapil, kerang-kerangan, ikan lele, dan ikan betook yang
tersisa (kondisi masih hidup) lalu dimasukkan ke dalam baskom yang telah berisi
larutan limbah pencemar. Pengamatan dilakukan selama 3 hari, kemudian berat.
BAB 4
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.7. Tabel hasil
sensori perlakuan limbah pencemaran pada ikan sapil (Helesstroma temenckii)
Jenis Limbah
pencemaran
|
Konsentrasi
|
Organisme
|
Berat badan
|
Waktu kematian
|
Kondisi kematian
|
Jumlah kematian
|
|
Sebelum
|
Sesudah
|
||||||
Formalin
|
50%
|
Ikan sapil
|
88 g
|
95 g
|
11:34
|
Segar
|
5 ekor
|
|
Ph = 5,8
|
|
|
|
|
|
|
|
Do = 4,6
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4.2. Pembahasan
Pada praktikum toksilogi hasil perikanan kali
ini akan membahas uji toksisitas limbah perairan terhadap mortalitas
organisme, pada uji ini bertujuan untuk mengetahui tingat toksisitas bahan
pencemar perairan terhadap berbagai jenis ikan air tawar kelompok kami
menggunakan organisme ikan sapil (Helesstroma temenckii) yang berjumlah 5 ekor dengan berat keseluruhan 88 g dan menggunakan
formalin sebagai limbah pencemaran sebanyak 50% yang ditambah air sebanyak 25
ml.
Ikan
diletakan kedalam baskom yang berisi air 2 L atau air Sebanyak mungkin agar
organisme tetap bisa berenang setelah itu segera lakukan perlakuan sesuai cara
kerja larutan limbah pencemar air diambil sebanyak 2 sampai 5 tetes setiap 5,
10, 25, 45, dan 60 menit kemudian larutan tersebut dimasukkan ke dalam baskom
yang telah berisi ikan.
Pada
tahap pertama pukul 11:05 formalin sebanyak 5ml dimasukan ke dalam air di dalam
baskom yang berisi ikan, pengamatan pada tahap pertama belum ada reaksi yang
terjadi, ikan masih aktif bergerak. Selanjutnya pada tahap kedua pada pukul
11:15 mulai nampak perubahan ikan mulai stress, posisi pada saat berenang tubuh
ikan tidak tegak lagi, berselang beberapa menit ikan mulai glepar-glepar bahkan
keluar dari wadah/baskom dan pada pukul 11:34 empat ekor yang sudah mati.
Pada
tahap ketiga pukul 11:40 semua ikan sudah mati, ikan masih dalam keadaan segar,
warna cemerlang, insang masih merah, mata cembung, tidak ada lender pada permukaan tubuh ikan, tekstur
elastic tetapi ada beberpa sisik ikan mulai lepas. Seluruh ikan sapil yang kami
gunakan sebanyak 5 ekor pada tahap ketiga semuanya mati sehingga pengamatan
dihentikan dan tidak dilanjutkan pada tahap berikutnya, berat ikan yang sudah
mati bertambah menjadi 95g.
Ikan tambakan (Helostoma temmenckii)
adalah salah satu jenis ikan air tawar yang berasal dari wilayah tropis,
tepatnya Asia Tenggara.Ikan ini pada awalnya berasal dari Thailand hingga
Indonesia sebelum akhirnya diintroduksi ke seluruh dunia. Ikan ini juga
dikenal dengan nama gurami pencium karena kebiasaannya “mencium” saat mengambil
makanan dari permukaan benda padar maupun saat berduel antara pejantan
(Khairuman, 2001).
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna
dan baunya sangat menusuk.Didalam formalin mengandung sekitar 37 persen
formaldehid dalam air, biasanya ditambah methanol hingga 15 persen sebagai
pengawet. Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak
digunakan dalam industri (Astawan, 2006).
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
Berikut kesimpulan yang di peroleh dari
praktikum
Toksikologi Hasil Perikanan antara lain sebagai berikut:
1. Ikan sapil atau
tambakan merupakan salah satu ikan air tawar yang berasal dari wilayah tropis
dengan tubuh berbentuk pipih vertical, sirip punggung dan sirip analnya
memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa.
2. Perlakuan dengan menggunakan formalin membuat ikan cepat mati tetapi
tidak membuat ikan cepat busuk.
3. Formalin adalah
larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Didalam formalin
mengandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air, biasanya ditambah methanol
hingga 15 persen sebagai pengawet.
4. Semakin tinggi
konsentrasi formalin yang digunakan maka semakin cepat proses kematian pada
ikan.
5. Sabun adalah bahan
yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi, terdiri dari dua komponen utama
yaitu asam lemak dengan rantai karbon C16 dan sodium atau potasium.
5.2. Saran
Pada saat praktikum sebaiknya benar-benar
mengamati perubahan yang terjadi pada iakn sehingga memudahkan dalam membuat
laporan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar