Sabtu, 08 April 2017

LAPORAN PRAKTIKUM TOKSISITAS BAHAN PENCEMAR TERHADAP IKAN AIR TAWAR ~Puput


LAPORAN TETAP
PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI HASIL PERIKANAN

UJI TOKSISITAS BAHAN PENCEMAR TERHADAP IKAN AIR TAWAR




Saputriani
05061181520003








PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia sangat berlimpah baik yang berasal dari perairan darat maupun dari perairan laut.Sumberdaya perikanan terutama ikan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat sebagai sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi.Banyaknya masyarakat yang mengkonsumsi ikan setiap harinya, menyebabkan permintaan pasar semakin hari semakin meningkat terhadap kebutuhan ikan.Tetapi hal ini justru berbanding terbalik dengan jumlah hasil tangkapan ikan dari perairan umum yang semakin hari semakin berkurang, usaha perikanan air tawar harus terus dipacu untuk dikembangkan agar produksi ikan kembali meningkat (Djarijah, 2002).
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dimana terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Indonesia memiliki luas wilayah lautan sekitar 5,8 juta km2 atau sekitar 70% dari luas total teritorial Indonesia. Dengan potensi fisik ini, tentunya kita harus berbangga atas potensi ini, serta mampu mengelolanya dengan baik (Bahar, 2006).
Kondisi geografis Indonesia yang sangat strategis dengan potensi sumberdaya alam yang sangat besar merupakan potensi besar dalam perekonomian nasional. Sebagai negara agraris dan maritim, Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar baik di darat maupun di lautan. Perairan umumnya digunakan sebagai media pembudidayaan air tawar yang meliputi pembudidayaan ikan di kolam, pembudidayaan ikan disawah, dan pembudidayaan ikan hias air tawar. Dari segi ekonomi, bagian yang terpenting dalam perikanan air tawar adalah golongan ini untuk meningkatkan pendapatan keluarga ataupun dalam ruang lingkup pendapatan daerah sendiri (Bahar, 2006).
Perikanan air tawar diperkirakan berjumlah lebih dari seratus spesies, namun dari sekian banyak jenis spesies diatas hanya beberapa jenis yang memiliki nilai ekonomis penting diantaranya yaitu ikan tambakan (Helostoma teminckii), ikan patin (Pangasiuspangasius), ikan gabus (Channa striata), ikan lele (Clarias bathracus) dan masih banyak jenis ikan lainnya, disebut memiliki nilai ekonomis

penting karena nilai jualnya dipasaran mahal harganya serta mudah dibudidayakan dan terdapat dimana-mana (Dahuri, 2003)
Ikan air tawar dapat digolongkan dalam tiga golongan yaitu, sebagai berikut ikan peliharaan yaitu terdiri dari ikan-ikan yang mudah dipelihara dan diperbanyak serta dapat pula memberikan keuntungan bagi pengusaha. Contoh ikan golongan ini adalah  ikan lele (Clarias bathracus), ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis) dan ikan patin (Pangasiuspangasius), ikan buas yaitu dari ikan gabus (Channa striata)(Lestari, 2003).
Ikan-ikan ini mempunyai sifat-sifat yang jahat terhadap jenis spesies lainnya yang berada di sekitar lingkungannya. Dan ikan liar yaitu terdiri dari ikan yang tidak buas, tetapi tidak pula dapat dipelihara dengan memberi keuntungan, bahkan harus dianggap pengganggu terhadap ikan peliharaan. Jenis ikan ini merupakan saingan ikan-ikan lain  dalam hal soal makanan. Contoh dari ikan liar yaitu ikan buntal, ikan jeler dan ikan paray (Lestari, 2003).


2.1. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui tingat toksisitas bahan pencemar perairan terhadap berbagai jenis ikan air tawar.














BAB 2
                                    TINJAUAN PUSTAKA            
2.1. Sistematika Ikan Tambakan(Helostroma temmenckii)
Sistematika dan morfologi ikan Tambakan (Helostoma temmenckii) menurut Saanin (1984) anntara lain sebagai berikut:
kingdom          : Animalia
filum                : Chordata
kelas                : Pisces
ordo                 : Labyrinthici
famili               : Anabantidae
genus               : Helostoma
spesies             : Helostoma temminckii
Ikan tambakan (Helostoma temmenckii) adalah salah satu jenis ikan air tawar yang berasal dari wilayah tropis, tepatnya Asia Tenggara.Ikan ini pada awalnya berasal dari Thailand hingga Indonesia sebelum akhirnya diintroduksi ke seluruh dunia. Ikan ini juga dikenal dengan nama gurami pencium karena kebiasaannya “mencium” saat mengambil makanan dari permukaan benda padar maupun saat berduel antara pejantan (Khairuman, 2001).
Di Indonesia sendiri, ikan ini memiliki banyak nama seperti bawan, gsfbiawan, hingga ikan samarinda (Khairuman, 2001). Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hamper serupa. Sirip ekornya sendiri berbentuk nyaris bundar atau mengarah cembung ke luar, sementara sirip dadanya yang berjumlah sepasang juga berbentuk nyaris bundar.Dikedua sisi tubuhnya terdapat gurat sisi, pola berupa garis tipis yang berawal dari pangkal celah insangnya sampai pangkal sirip ekornya.Kurang lebih ada sekitar 43-48 sisik yang menyusun gurat sisi tersebut.Ikan tambakan diketahui bisa tumbuh hingga ukuran 30 sentimeter (Khairuman, 2001).Salah satu ciri khas dari ikan tambakan adalah mulutnya yang memanjang. Karakteristik mulutnya yang menjulur ke depan membantunya mengambil makanan semisal lumut dari tempatnya melekat. Bibirnya diselimuti oleh semacam gigi bertanduk, namun gigi-gigi tersebut tidak ditemukan di bagian mulut lain seperti faring, premaksila, dentary, dan langit-langit mulut. Ikan tambakan juga memiliki tapis insang (gill raker) yang membantunya menyaring partikel-partikel makanan yang masuk bersama dengan air (Khairuman, 2001).

2.2. Formalin
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Didalam formalin mengandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air, biasanya ditambah methanol hingga 15 persen sebagai pengawet. Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Nama lain dari formalin adalah Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith (Astawan, 2006).
      Berat molekul formalin adalah 30,03 dengan rumus molekul HCOH. Karena kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh. Gugus karbonil yang dimilikinya sangat aktif, dapat bereaksi dengan gugus NH2 dari protein yang ada pada tubuh membentuk senyawa yang mengendap (Harmita, 2006). Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam larutan formalin terkandung 30-50% gas formaldehid dan ditambahkan metanol sebanyak 10-15% untuk mencegah terjadinya polimerisasi formaldehid. Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana. Formaldehid bersifat mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, dan mudah dipolimerisasi pada suhu ruang. Formadehid bersifat larut di dalam air, aseton, benzene, dietil eter, kloroform, dan etanol (Hart, 1983).
Pada suhu 150ÂșC, formaldehid mudah terdekomposisi menjadi metanol dan karbonmonoksida. Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfer membentuk asam format, yang kemudian diubah menjadi karbondioksida oleh sinar matahari (WHO, 2002).




2.3. Detergen
Suatu deterjen (dari bahasa Latin detergere, menyeka) adalah molekul yang sama seperti sabun, membentuk missel dalam air dan emulsi lemak dan minyak. Deterjen sintetis yang biasa sering digunakan adalah natrium alkilbenzenesulfonat, deterjen mirip dengan sabun yang memiliki sebuah grup ion dan suatu hidrokarbon berantai panjang tetapi pasti menguntungkan. Ketidak untungan sabun muncul bila digunakan dalam air sadah, yang mengandung kation logam-logam tertentu seperti Ca, Mg, Ba, Fe, dan Fe. Kation-kation tersebut menyebabkan garamgaram natrium atau kalium dari asam karboksilat yang semula larut menjadi garamgaram karboksilat yang tidak larut.5 Rantai alkil sebaiknya tidak bercabang. Alkil benzenasulfonat yang bercabang bersifat tidak dapat didegradasi oleh jasad renik (biodegradable) (Hart, H, 1991).
Deterjen ini mengakibatkan masalah polusi berat pada tahun 1950-an, yaitu berupa buih pada unitunit penjernihan serta di sungai dan danau-danau. Sejak tahun 1965, digunakan alkil benzenasulfonat yang tidak bercabang. Deterjen jenis ini mudah didegradasi secara biologis oleh mikroorganisme dan tidak berakumulasi di lingkungan kita (Hart, H, 1991).
Deterjen pertama kali dikenalkan pada tahun 1933 yang dianggap lebih efektif dalam air sadah. Deterjen memiliki dua kesamaan karakteristik struktur yang dilakukan oleh sabun: pertama memiliki suatu rantai panjang, nonpolar, hidrofobik, hidrokarbon, yang mana larut dalam lemak dan minyak, kedua mereka memiliki suatu ujung polar dan hidrofilik yang mana larut dalam air. Sebagian besar deterjen sekarang ini adalah biodegradable. Yang berarti bahwa deterjen tersebut dapat secara cepat dimetabolisme oleh mikroorganisme dalam suatu kotoran pembuangan tanaman dan tidak dibebaskan kedalam lingkungan. Untuk deterjen yang biodegradable, rantai panjang alkil harus diputus. Deterjen yang digunakan pada tahun 1950-1960an memiliki rantai bercabang yang tidak biodegradable, sebagian besar kotoran pada pakaian atau kulit melekat menjadi suatu lapisan maka akan mudah dibersihkan oleh detergen (Bailey, S.P, 1985).




2.3. Sabun
            Sabun adalah bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi, terdiri dari dua komponen utama yaitu asam lemak dengan rantai karbon C16 dan sodium atau potasium. Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia antara kalium atau natrium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani. Sabun yang dibuat dengan NaOH dikenal dengan sabun keras (hard soap), sedangkan sabun yang dibuat dengan KOH dikenal dengan sabun lunak (soft soap). Sabun dibuat dengan dua cara yaitu proses saponifikasi dan proses netralisasi minyak. Proses saponifikasi minyak akan memperoleh produk sampingan yaitu gliserol, sedangkan proses netralisasi tidak akan memperoleh gliserol. Proses saponifikasi terjadi karena reaksi antara trigliserida dengan alkali, sedangkan proses netralisasi terjadi karena reaksi asam lemak bebas dengan alkali (Qisti, 2009).
            Sabun merupakan senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat, C17H35COO-Na+. Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari air. Konsep ini dapat di pahami dengan mengingat kedua sifat dari anion sabun (Achmad, 2004).

2.3. Garam
Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida (>80%) serta senyawa lainnya seperti Magnesium Chlorida, Magnesium Sulfat, Calsium Chlorida, dan lain-lain. Garam mempunyai sifat / karakteristik higroskopis yang berarti mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 - 0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu 8010C ( Burhanuddin, 2001).
Garam Natrium klorida untuk keperluan masak dan biasanya diperkaya dengan unsur iodin (dengan menambahkan 5 g NaI per kg NaCl) padatan Kristal berwarna putih, berasa asin, tidak higroskopis, bila mengandung MgCl2 menjadi berasa agak pahit dan higroskopis. Digunakan terutama sebagai bumbu penting untuk makanan, sebagai bumbu penting untuk makanan, bahan untuk pembuatan keramik, kaca, dan pupuk, sebagai zat pengawet ( Mulyono, 2009).
BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
3.1. Tempat dan Waktu
Praktikum Toksilogi Hasil Perikanan dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Pada hari Selasa 14 Maret 2017, pukul 10:00 WIB sampai dengan selesai.

3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain: sendok, baskom, pipet  tetes, gelas ukur 1000 mL, sedangkan bahan yang digunakan adalah potassium sianida, detergen, sabun, garam, ikan sapil, ikan lele, ikan betok.

3.3. Cara Kerja
Berikut cara kerja yang dilakukan pada praktikum Toksikologi Hasil Perikanan antara lain sebagai berikut:
1. Tahap pendahuluan yaitu pembuatan larutan potassium sianida, detergen, sabun, dan garam dengan masing-masing konsentrasi 20% dan 50%.
2.         Tahap kedua yaitu ikan sapil, kerang-kerangan, ikan lele, dan ikan betok kondisi hidup masing-masing 5 ekor dimasukkan ke dalam gelas ukur perlakuan, sebelum itu semua organisme ditimbang berat badannya. Larutan limbah pencemar air diambil sebanyak 2 sampai 5 tetes (± 1 mL) setiap 5, 10, 25, 45, dan 60 menit, kemudian larutan tersebut dimasukkan ke dalam gelas perlakuan yang telah berisi ikan maupun kerang-kerangan (waktu, kondisi, dan jumlah kematian dicatat).
3.         Tahap ketiga yaitu ikan sapil, kerang-kerangan, ikan lele, dan ikan betook yang tersisa (kondisi masih hidup) lalu dimasukkan ke dalam baskom yang telah berisi larutan limbah pencemar. Pengamatan dilakukan selama 3 hari, kemudian berat.



BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.7. Tabel hasil sensori perlakuan limbah pencemaran pada ikan sapil (Helesstroma temenckii)
Jenis Limbah pencemaran
Konsentrasi
Organisme
Berat badan
Waktu kematian
Kondisi kematian
Jumlah kematian
Sebelum
Sesudah
Formalin
50%
Ikan sapil
88 g
95 g
11:34
Segar
5 ekor

Ph = 5,8







Do = 4,6















4.2. Pembahasan
Pada praktikum toksilogi hasil perikanan kali ini akan membahas uji toksisitas limbah perairan terhadap mortalitas organisme, pada uji ini bertujuan untuk mengetahui tingat toksisitas bahan pencemar perairan terhadap berbagai jenis ikan air tawar kelompok kami menggunakan organisme ikan sapil (Helesstroma temenckii) yang berjumlah 5 ekor dengan berat keseluruhan 88 g dan menggunakan formalin sebagai limbah pencemaran sebanyak 50% yang ditambah air sebanyak 25 ml.
Ikan diletakan kedalam baskom yang berisi air 2 L atau air Sebanyak mungkin agar organisme tetap bisa berenang setelah itu segera lakukan perlakuan sesuai cara kerja larutan limbah pencemar air diambil sebanyak 2 sampai 5 tetes setiap 5, 10, 25, 45, dan 60 menit kemudian larutan tersebut dimasukkan ke dalam baskom yang telah berisi ikan.
            Pada tahap pertama pukul 11:05 formalin sebanyak 5ml dimasukan ke dalam air di dalam baskom yang berisi ikan, pengamatan pada tahap pertama belum ada reaksi yang terjadi, ikan masih aktif bergerak. Selanjutnya pada tahap kedua pada pukul 11:15 mulai nampak perubahan ikan mulai stress, posisi pada saat berenang tubuh ikan tidak tegak lagi, berselang beberapa menit ikan mulai glepar-glepar bahkan keluar dari wadah/baskom dan pada pukul 11:34 empat ekor yang sudah mati.
            Pada tahap ketiga pukul 11:40 semua ikan sudah mati, ikan masih dalam keadaan segar, warna cemerlang, insang masih merah, mata cembung, tidak  ada lender pada permukaan tubuh ikan, tekstur elastic tetapi ada beberpa sisik ikan mulai lepas. Seluruh ikan sapil yang kami gunakan sebanyak 5 ekor pada tahap ketiga semuanya mati sehingga pengamatan dihentikan dan tidak dilanjutkan pada tahap berikutnya, berat ikan yang sudah mati bertambah menjadi 95g.
Ikan tambakan (Helostoma temmenckii) adalah salah satu jenis ikan air tawar yang berasal dari wilayah tropis, tepatnya Asia Tenggara.Ikan ini pada awalnya berasal dari Thailand hingga Indonesia sebelum akhirnya diintroduksi ke seluruh dunia. Ikan ini juga dikenal dengan nama gurami pencium karena kebiasaannya “mencium” saat mengambil makanan dari permukaan benda padar maupun saat berduel antara pejantan (Khairuman, 2001).
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk.Didalam formalin mengandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air, biasanya ditambah methanol hingga 15 persen sebagai pengawet. Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri (Astawan, 2006).













BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1.  Kesimpulan
Berikut kesimpulan yang di peroleh dari praktikum Toksikologi Hasil Perikanan antara lain sebagai berikut:
1.      Ikan sapil atau tambakan merupakan salah satu ikan air tawar yang berasal dari wilayah tropis dengan tubuh berbentuk pipih vertical, sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa.
2.      Perlakuan dengan menggunakan formalin membuat ikan cepat mati tetapi tidak membuat ikan cepat busuk.
3.      Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Didalam formalin mengandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air, biasanya ditambah methanol hingga 15 persen sebagai pengawet.
4.      Semakin tinggi konsentrasi formalin yang digunakan maka semakin cepat proses kematian pada ikan.
5.      Sabun adalah bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi, terdiri dari dua komponen utama yaitu asam lemak dengan rantai karbon C16 dan sodium atau potasium.

5.2. Saran
Pada saat praktikum sebaiknya benar-benar mengamati perubahan yang terjadi pada iakn sehingga memudahkan dalam membuat laporan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar